Kantor Berita Internasional Ahlulbait -ABNA- Panglima Angkatan Bersenjata Sudan dan Ketua Dewan Kedaulatan Transisi, Abdel Fattah al-Burhan, menegaskan bahwa perang di Sudan adalah pemberontakan bersenjata Pasukan Reaksi Cepat (RSF), bukan konflik antara dua jenderal, seperti yang sering digambarkan.
Dalam artikelnya di harian Amerika The Wall Street Journal, al-Burhan menyebut RSF sebagai milisi dengan rekam jejak panjang dalam genosida dan kekerasan seksual. Ia menegaskan bahwa tentara Sudan sebelumnya telah berupaya mengintegrasikan RSF ke dalam angkatan bersenjata nasional berdasarkan kesepakatan Desember 2022, namun kesepakatan itu dilanggar oleh pimpinan RSF.
Al-Burhan juga menekankan bahwa RSF tidak berperang sendirian, melainkan mendapat dukungan besar persenjataan dan pendanaan dari pihak asing, meskipun ia tidak menyebutkan negara pendukungnya secara langsung. Ia memperingatkan bahwa kelanjutan perang mengancam stabilitas Laut Merah dan kawasan Sahel, yang juga berdampak langsung pada kepentingan Amerika Serikat.
Terkait pembantaian di kota El Fasher pada Oktober lalu, al-Burhan menyebutnya sebagai tindak genosida yang menewaskan sekitar 10.000 warga sipil. Ia meminta Presiden AS agar menekan pihak-pihak asing pendukung RSF.
Al-Burhan menegaskan bahwa syarat utama terwujudnya perdamaian adalah pembubaran total milisi RSF dan para tentara bayarannya. Hanya mereka yang tidak terlibat kejahatan yang dapat diintegrasikan ke dalam tentara nasional. Ia juga menegaskan kembali komitmen militer untuk melanjutkan proses transisi menuju pemerintahan sipil dan demokratis.
Your Comment